Pengamat Sebut Perlu Ada Hukuman Bagi Penyelenggara Yang Bocorkan Data

Surabaya – Pengamat Teknologi Informasi (TI) dari Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya Hariadi Yutanto menyebut perlu adanya hukuman bagi penyelenggara yang membocorkan data pribadi atau konsumen, sebagai konsekuensi tanggung jawab.

Hariadi saat dikonfirmasi di Surabaya, Minggu menjelaskan penyelenggara yang dimaksud adalah pengelola data pribadi, seperti perbankan, lokapasar/marketplace dan sejenisnya, yang sebelumnya meminta konsumen memberikan data pribadi sebagai verifikasi.

Dosen informatika sekaligus Kepala ICT Universitas Hayam Wuruk Perbanas ini mencontohkan di Korea Selatan, yakni Facebook dan Twitter didenda karena adanya kebocoran data salah satu akun, dengan total denda sekitar Rp82 miliar.

“Kalau di Korea Selatan, penyelenggara diberi denda, seperti kepada facebook dan twitter sebesar Rp82 miliar, karena kebocoran data. Untuk di Indonesia belum diatur dan masih dikaji di Komisi I DPR, sehingga perlu didorong,” katanya.

Hariadi mengamati isu seputar kasus kebocoran data di sejumlah aplikasi elektronik belakangan ini kembali marak dan terjadi.

Terhitung mulai dari situs milik Badan Intelejen Negara (BIN) yang diretas hacker dari China, sampai yang terbaru data vaksinasi milik Presiden RI Joko Widodo di aplikasi PeduliLindungi yang bocor di laman media sosial, beberapa waktu lalu.

Namun, kata dia, belum ada tindakan hukum yang jelas bagi penyelenggara yang terbukti data pelanggannya bocor, termasuk yang sebelumnya ramai, yakni Tokopedia, PeduliLindungi dan sejumlah operator seluler.

Hukuman yang pasti, kata dia, hanya ada pada peretas atau hacker, dan bukan pada penyelenggara, sehingga perlu sama-sama ditegakkan untuk memberikan rasa aman pada masyarakat.

Meski demikian, dia memaklumi bahwa sejauh ini peretasan memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di luar negeri peretasan juga sudah sangat meresahkan, ini karena tidak bisa menjamin aman seratus persen.

“Contohnya sekelas NASA yang juga pernah diretas. Ini artinya di seluruh dunia yang sudah terkoneksi dengan Internet dan data digital akan selalu rawan kebocoran. Karena keamanan di sini sifatnya adalah proses yang harus terus di perbaharui,” kata Hariadi.

Ia pun menegaskan bahwa tidak ada yang aman dalam dunia digital, sehingga perlu langkah keamanan yang nyata serta rasa aman yang diberikan penyelenggara dengan bertanggung jawab.

“Sebenarnya keamanan sudah bagus, tapi banyak penipuan dengan model pendekatan persuasif secara pesonal. Hal ini yang paling rawan, social engginering yang paling banyak, tidak butuh skill, tapi pendekatan persuasif dan ini paling bahaya,” katanya.

Ia mengimbau kepada masyarakat jangan sampai sekali-kali memberikan kode on time personal (OTP) kepada siapa pun, untuk mengantisipasi pembobolan data pribadi. (Ant)